CDN, Sumbawa Besar– Focus Group Discussion (FDG) virtual bertema “Menggagas Film Pendek sebagai Media Sosialisasi Perlindungan Anak” diselenggarakan oleh Lembaga Analisis dan Kajian Kebudayaan Daerah (LINKKAR) pada Selasa, (21/09/2021). Amilan Hatta selaku Direktur Eksekutif LINKKAR dalam membuka FGD tersebut mengungkapkan bahwa menggagas film pendek sebagai media sosialisasi perlindungan anak bercermin dari fenomena kasus kekerasan terhadap anak yang semakin meninggi setiap tahunnya.
“Menyikapi fenomena sosial ini, LINKKAR perlu turut berpartisipasi aktif ikut mengkampanyekan perlindungan terhadap anak salah satunya dengan menggagas film pendek ini,” terang Amilan.
Menurut Amilan, dalam pembuatan film, harus menuangkan ide gagasan yang lugas dan mudah dipahami.
“Strategi produksi film pendek yang akan dibuat harus mampu menyampaikan pesan positif, bagaimana output film nantinya mmberikan kesadaran bagi orang tua hingga anak,” tegasnya.
Sementara itu KP Sutrisno Sastroadiningrat, Presiden Direktur PT Kalachakra Multi Sinema selaku penyaji materi konsep membuat film, mengungkapkan bahwa film yang akan dibuat harus mampu menjadi promosi kampanye perlindungan anak.
“Anak adalah masa depan bangsa, kultur masyarakat yang menjadi sasaran pembuatan film harus kita ketahui seperti apa, potensi masyarakat yg mau memahami dan mau mendengar itu seperti apa, jangan ada resistensi saat kita melakukan kampanye,” ungkap pria yang akrab disapa Tris ini.
Tris juga menerangkan dalam pembuatan film yang baik dimulai dari riset produksi, riset, post pro, hingga strategi kampanye film.
“Sehingga film akan sampai pesan dan manfaatnya ke masyarakat” dorong Tris.
Sementara itu, Dr. Ulfah Mawardi, Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sebagai penanggap pemateri mengungkapkan bahwa strategi kampanye saat ini sudah mulai meninggalkan cara-cara konvensional.
“Film adalah salah satu media yang tepat dan efektif, namun ini juga sekaligus menjadi tantangan baru,” ungkapnya.
Menurutnya film pendek yang dibuat harus berdasarkan lima tema. Yakni tentang perkawinan anak, pekerja anak, kekerasan anak, pengasuhan anak dan perdagangan anak yang nantinya akan menjadi bahan sosialisasi perlindungan terhadap anak dari KemenPPPA.
Selain itu, Ucok Sukran dari Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga mendorong bahwa dalam pembuatan film harus memperhatikan dampak multidimensinya.
“Film pendek ini tentu nantinya menjadi pendekatan budaya, bagaimana pelibatan tokoh-tokoh adat dalam menyelesaikan persoalan-persoalannya? Saya rasa ini menjadi hal yang penting,” ungkapnya.
Ketua Pusat Kajian Perempuan dan Anak Universitas Mahendradatta Denpasar, Bali, Deli Bunga Saravistha meminta untuk pendekatan dalam pembuatan film pendek juga harus berbasis Konvensi Hak Anak yang mengatur hal apa saja yang harus dilakukan negara agar tiap-tiap anak dapat tumbuh sesehat mungkin, bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya, dan diperlakukan dengan adil.
“Hak sipil dan kebebasan; hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya; hingga perlindungan khusus, semuanya harus diperhatikan,”tegas Deli Bunga.
Deli Bunga juga meminta dari permasalahan seperti perkawinan anak, pekerja anak, kualitas pengasuhan anak di masa pandemi, pemenuhan hak belajar anak hingga perdagangan anak perlu dilihat dan diselesaikan secara jelas
“Termasuk payung hukum perlindungan anak yang sudah ada selama ini peru dikemas dalam film secara sederhana dan mudah dipahami,” ungkapnya.
Selain itu, Muhammad Zaki sebagai Ketua Forum Anak Samawa mendorong pembuatan film pendek yang mudah dipahami oleh semua golongan masyarakat mulai dari orang tua hingga anak.
“Film harus digagas dari anak untuk anak, semua golongan masyarakat harus mudah mengerti pesan yang ingin disampaikan dari film pendek tersebut,” dorongnya.
Junaidi Latief selaku CEO Rajasua Production sebagai penggarap film pendek anak kerjasama LINKKAR dengan KemenPPPA ini mengungkapkan rasa terima kasih terhadap atensi penanggap FGD dalam memberikan saran dalam pembuatan film tersebut. Menurutnya, film akan dibuat berbasis riset tradisi, budaya dan kearifan lokal di daerah sehingga nantinya film pendek dapat diterima di masyarakat.
“Terima kasih atas atensi luar biasa dalam penggarapan film pendek ini, kami akan memperhatikan apa-apa saja yang sudah disarankan, contohnya menggarap film yang nantinya dapat berbasis terhadap hak-hak anak serta menampilkan payung hukum perlindungan anak yang dikemas sesederhana mungkin agar mampu dipahami masyarakat secara luas. Kami juga akan munculkan simbol-simbol budaya lokal seperti rumah adat, atau rumah panggung khas NTB,” pungkasnya. (cdn.wan)