Otonomi Daerah (Otda) lahir sebagai koreksi atas corak pemerintahan yang sentralistik dan eksploitatif selama masa pemerintahan Orde Baru. Saat ini, sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah pusat diberikan kepada daerah termasuk dalamnya pengelolaan bidang pendidikan (UU No. 22 Tahun 1999, disempurnakan dengan UU No 32 tahun 2004).
Di bidang pendidikan, pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 2014. Manajemen pendidikan menjadi urusan pemerintah pusat yaitu penetapan standar nasional pendidikan dan pengelolaan pendidikan. Sedangkan pemerintah propinsi bertanggung jawab atas pengelolaan pendidikan menengah dan pendidikan khusus dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengurus pengelolaan pendidikan dasar termasuk pendidikan usia dini dan pendidikan non formal.
Untuk urusan pendidik dan tenaga kependidikan pemerintah pusat memiliki kewenangan pengendalian formasi pendidik dan pengembangan karier pendidik. Selebihnya menjadi kewenangan pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Wewenang lain yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah seiring pemberlakuan otonomi daerah adalah penerapan standar pelayanan minimal (SPM). Pemda propinsi diberikan kewenangan untuk menentukan SPM pendidikan menengah dan khusus sedangkan Pemda kabupaten/kota memiliki kewenangan terhadap SPM pendidikan dasar, SPM pendidikan nonkesetaraan dan SPM pendidikan anak usia dini.
Gagasan otonomi daerah bertujuan untuk menata sistem pemerintahan agar lebih efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat agar diperoleh kesejahteraan rakyat yang lebih merata termasuk pemerataan pendidikan bermutu. Tetapi dalam perkembangannya otonomi daerah bidang pendidikan belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan. Pada kenyataannya malah menimbulkan ekses ketidakadilan.
Sebut saja misalnya, keberadaan sekolah favorit yang sering diartikan sebagai sekolah yang memiliki keunggulan dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, kualitas guru dan pembelajaran bermutu. Sekolah favorit dipersepsikan sebagai simbol prestise sosial dan karena itu hanya menjadi milik sekelompok orang tertentu yang memiliki akses. Sehingga mustahil bagi kebanyakan anak dari kalangan kelas bawah atau anak-anak berprestasi rendah dapat memperoleh pendidikan di sekolah tersebut.
Membangun image sebagai sekolah favorit sebenarnya sama dengan membangun disparitas dan mengembangkan ketidakadilan. Masyarakat yang tidak mampu akan memiliki persepsi bahwa sekolah favorit identik dengan sekolah orang-orang cerdas dan orang-orang kelas atas.
Dalam hal dikotomi sekolah favorit-nonfavorit mengingatkan kembali pada masa Hindia Belanda (1920-1930). Pada era kolonial itu masyarakat pribumi (penduduk asli) sulit memperoleh akses pendidikan. Mereka yang dapat menikmati pendidikan di sekolah pemerintah Hindia Belanda tidak sampai 3 persen dari jumlah usia sekolah.
Kalaupun diberikan akses untuk masyarakat umum tetapi tarif yang ditentukan sangat tinggi yaitu 39.000 gulden. Sementara rata- rata pendapatan kaum Bumiputra pada waktu itu hanya 5-10 gulden perhari atau jika diakumulasi hanya mencapai kurang lebih 300 gulden perbulan.
Dengan begitu, bagi orang tua Bumiputra dari kalangan masyarakat kelas bawah menyekolahkan anaknya ke sekolah pemerintah sangat mustahil.
Kisah ini ada kemiripan dengan sekolah favorit saat ini, menunjukkan adanya dikotomi yang jelas antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah dalam mendapatkan layanan pendidikan bermutu. Padahal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 disebutkan pendidikan adalah hak dasar yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat dan pemerintah wajib memfasilitasinya.
Menghapus Dikotomi Pendidikan
Hampir 20 tahun setelah kebijakan otonomi daerah, pemerintah menerbitkan kebijakan pendidikan yang lebih adil melalui Permendikbud No.17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) TK, SD,SMP, SMA dan SMK/Sederajat.
Peraturan ini memiliki tujuan yang jelas untuk menghapus kesenjangan atau dikotomi pendidikan dan mengurangi disparitas antar sekolah. Dikotomi dan disparitas yang terjadi sebelumnya dilihat sebagai suatu ketimpangan yang tidak adil dalam dunia pendidikan kita.
Meskipun banyak pihak yang menentang kebijakan ini, tetapi dalam PPDB tahun 2020 Kementerian Pandidikan dan Kebudayaan menegaskan kembali konsistensi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan mutu pendidikan dan perluasan akses layanan pendidikan, sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada TK, SD,SMP, SMA dan SMK. Namun PPDB ini lebih luwes atau lebih fleksibel dari peraturan sebelumnya.
PPDB 2020 dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur zonasi dengan ketentuan paling sedikit 50% dari daya tampung sekolah, (sebelumnya paling sedikit 90%) Jalur zonasi termasuk kuota bagi anak penyandang disabilitas. Kemudian jalur afirmasi (anak-anak tidak mampu dan pemegang Kartu Indonesia Pintar- KIP) paling sedikit 15% dari daya tampung sekolah, dan jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah.
Jalur prestasi juga masih dimungkinkan namun jika masih terdapat sisa kuota, (sebelumnya diatur paling banyak 5% ) dari daya tampung sekolah.
Penetapan wilayah zonasi merupakan kewenangan setiap jenjang pemerintah daerah yang harus dilakukan dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah. Esensi semangat zonasi adalah pemerataan bagi semua siswa untuk bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang baik yang mengarah kepada peningkatan kompetensi peserta didik sesuai dengan standar nasional pendidikan. Penetapan sistem zonasi selain untuk menjamin pemerataan pendidikan tetapi juga merupakan solusi untuk mereduksi ketidakadilan layanan pendidikan.
Dalam konteks otonomi daerah pelimpahan pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2000. Hal ini bertujuan agar pemerintah daerah secara mandiri dapat mengelola pendidikan seluas-luasnya dan sebaik mungkin berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab besar dalam pengelolaan pendidikan seiring besarnya alokasi dana pendidikan yakni minimal sebanyak 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD.
Sejauh ini, pendidikan kita di daerah masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam upaya peningkatan mutu. Permasalahannya terletak pada mutu pelayanan yang rendah, faktor guru (jumlah, kualitas dan sebaran) serta sarana dan prasarana yang belum memadai.
Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan yang dimiliki harus memberikan perhatian besar terhadap kondisi ini. Akselerasi pembangunan pendidikan dan penataan yang lebih komperehensif menjadi mutlak diperlukan agar diperoleh mutu pelayanan yang tinggi, ketersediaan tenaga pengajar yang kompeten serta ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan demikian kesenjangan pendidikan dapat segera teratasi. (*)
FATHUL MUIN, S.P
KORDINATOR PROGRAM PADA LEMBAGA ANALISIS DAN KAJIAN KEBUDAYAAN DAERAH (LINKKAR)