Makna Iman dan Keyakinan

Makna Iman dan Keyakinan

Taliwang, centralditanews- Dilansir dari Oknews.co.id, Ustadzah Uzlifah melalui tulisannya yang mengupas tentang  “Makna Iman dan Keyakinan” menyebutkan dalam kehidupan beragam dan pergaulan sehari-hari seringkali kita mendengar perkataan yakin. Perkatan terdebut, yang berasal dari bahasa Arab, sekarang telah masuk dalam kekayaan  perbendaharaan bahasa Indonesia.

W.J.S poerwadarminta mengartikan yakin itu dengan percaya (tahu mengerti) sungguh-sungguh dengan pasti (tentu, tak salah lagi). Sebagai misal dikemukakannya “Hakim yakin akan kesalahan terdakwa itu: Kita yakin dan percaya bahwa Indonesia akan menjadi Negara yang jaya” dan lain-lain sebagainya.

Menurut pramasastra bahasa Arab,  perkataan yakin itu berasal dari pokok kata kerja yaqina, yang berarti pasti, tidak ragu-ragu, tidak bimbang-bimbang. Sifatnya ialah konkrit.

Sebagai salah satu contoh yang sering kali ditemukan dalam ucapan sehari-hari ialah perkataan: kita yakin bahwa matahari terbit besok pagi; kita yakin bahwa sesudah malam terbitlah siang;  setelah gelap terbitlah terang dan lain-lain sebagainya. Juga perhitungan yang eksak mengandung unsur-unsur yakin itu,  umpamanya 2×2=4

Kata-kata  yakin dalam  Al Qur-an.

Dalam Al-Qur’an ditemukan 25x sebutan pecahan kata-kata yang berasal dari kata pokok yaqina itu,  seperti yaqien, yuqienun, tuqienun, muqieun dan lain sebagainya.

Di antara lain-lain disebutkan dalam Al Qur-an :
“Sembahlah Tuhanmu sampai   engkau mencapai tingkat yakin (maksudnya: maut yang diyakini datangnya”. Al –Hijr: 99).

Sebagai salah  satu contoh tentang pemahaman makna yakin itu disebutkan dalam Al-Qur’an;
“Dan mereka (orang-orang  yang  beriman) yakin terhadap (kedatangan) hari akhirat”. (Al- Baqarah: 4).

Kepercayaan orang-orang yang beriman bahwa hari akhirat itu pasti akan datang, yang demikian itu dinamakan yakin.

Derajat “yakin”.

Ibnu Taimiyah membagi pengertian yakin itu kepada 3 derajat, yaitu:

(1). ‘Ilmu yakin.
Yaitu, keyakinan yang didasarkan kepada pendengaran, pemberitaan, (kabar)

(2). ’Ainun yakin.
Yaitu keyakinan karena berdasar   penglihatan dengan mata, mempersaksikan sendiri .

(3). ’Haqqul-yakin.
Yaitu, keyakinan yang timbul karena turut mengalami sendiri, merasakan dan menghayatinya.

Lebih jauh, ibnu Taimiyah  memberikan perumpamaan tentang tingkat dan derajatnya satau demi satu, dengan mengambil contoh mengenai madu.

Derajat yang pertama (ilmul-yakin), seseorang mendengar bahwa di suatu tempat ada tersedia madu. Dia percaya karena orang yang  memberitahukan itu adalah seseorang yang lurus (siddik). Dia percaya karena di tempat yang disebutkan itu memang banyak di jumpai madu.

Kemudian, dia melihat dan mempersaksikan sendiri madu itu dengan mata kepalanya. Dia melihat warna yang kemerah-merahan seperti air gula, kental dan lain-lain. Pada saat itu, keyakinannya meningkat kepada ‘ainul-yakin. Akhirnya, dia mencoba mencicipi madu itu, terasa manis dan segar, rasa dan lezatnya  memang benar-benar madu. Di sini  kepercayaannya meningkat mencapai derajat haqqul-yakin, keyakinan yang pasti. (‘’Majmu-‘aitul Rasa-ilil Kubra’’, oleh Ibnu Taimiyah, jilid II, hal. 159),

Lukisan tentang ‘Ilmu-yakin dan ‘ainul-yakin itu di gambarkan oleh Tuhan dalam Al-Qur’an :
“Jangan! Nanti kamu akan mengetahui berdasarkan pengetahuan (Ilmu-yakin). Tentulah kamu akan melihat nereka. Sekali  lagi, tentulah kamu akan melihatnya  dengan pandangan yang  meyakinkan (‘ainul-yakin). (At-Takatsur : 5-7).

Pada ayat di atas ini Tuhan memperingatkan kepada orang-orang yang berlomba-lomba  mencari kekayaan dan kemewahan  dunia, bahwa mereka akan melihat kenyataan, bukan saja secara ilmu-yakin, tapi juga secara ‘anul-yakin, tentang neraka jahannam yang disediakan buat orang-orang yang berhanyut-hanyut mengarungi lautan madu kemewahan dunia ini.

Mengenai pemakaian kata-kata haqqul-yakin dalam Al-Qur’an dapat difahamkan pada suatu ayat, tatkala Tuhan memperingatkan bahwa orang-orang yang tidak beriman kelak akan mengalami penyesalan, dan yang demikian adalah kenyataan yang pasti. Tuhan berfirman :
“Dan sesungguhnya (yang demikian) adalah satu kebenaran  atau keyakinan yang sudah pasti”.  (Al Haqqah: 51).

Yakin dan iman.

Antara yakin dan iman ada hubungan dan kaitannya. Apabila dalam jiwa seorang Muslim sudah tumbuh haqqul-yakin kepada Allah s.w.t., yakin terhadap ke-EsaanNya, ke AgunganNya dan lain-lain, maka dia telah mencapai derajat iman yang paling tinggi.

Menurut Ibnu Taimiyah, iman itu juga ada tiga macam derajatnya.  Pertama, iman yang didasarkan kepada pengetahuan, karena disampaikan atau diajarkan oleh  seorang Ahli dan Guru. Keimanan  itu belum berbekas ke dalam kehidupannya sehari-hari. Kedua, yang sudah diiringi dengan bakti dan amal-amal kebajikan, sebab  sudah mulai dapat merasakan  bekas dan pengaruh iman ke dalam  kehidupan. Ketiga, telah dapat menghayati iman itu, bahkan  merasakan kelezatannya, sebagaimana seorang yang  sedang lapar menikmati kelezatan makanan yang enak yang mempunyai bumbu-bumbu masakan yang lengkap, segar,  gurih dan lain-lain sebagainya.

Mengenai kelezatan dan kemanisan itu, diuraikan oleh Rasulullah dalam satu Hadist dari Anas, sebagai berikut :
“Barang siapa yang terdapat padanya tiga perkara, maka dia akan merasakan kemanisan iman. Yang tiga perkara itu ialah : (1). Mencintai Allah dan RasulNya  melebihi daripada cinta kepada  yang lain-lain; (2). Mencintai  Manusia lantaran (berdasarkan)  cinta kepada Allah semata-mata ;(3). Benci untuk kembali kepada  kekufuran atau (engkar) laksana  seorang yang benci kalau  dilemparkan ke dalam api”, (riwayat Bkhari dan Muslim).

Dari Hadist tersebut di atas dapat di fahamkan, bahwa kecintaan kepada Allah memupuk  kemantapan iman seorang  Muslim. Semakin dalam cintanya kepada Yang Menciptakannya sendiri, maka semakin kuat pula imannya, yang menjadi unsur yang menentukan dalam menciptan stabilitas, kemantapan, kenikmatan dan ketenanga dalam kehidupan.

Dalam Kitab Suci Al-Qur’an ditemukan banyak ayat-ayat yang menghubungkan antara iman itu dengan cinta kepada Allah S.W.T

Diantaranya dinyatakan :
“Orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah”. (Al Baqarah: 165).

Malah pada beberapa ayat yang  lain ditegaskan tentang identitas orang-orang yang beriman itu, yang mempunyai akhlak yang baik dan sifat-sifat yang mengesahkan karena pengaruh dan pancaran Iman.

Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang yang  beriman itu hati mereka gemetar apabila di sebut nama Tuhan, dan  apabila dibacakan ayat-ayat Ilahi, semakin bertambah Iman mereka. Mereka berserah diri sepenuhnya (tawakkal) kepada Allah. Mereka (senantiasa) mengerjakan sembahyang, dan menafkahkan (untuk amal-kebaikan) rezeki yang di karuniakan kepada mereka. Itulah sifat-sifat orang yang  beriman. Mereka (selalu) mendapat kehormatan, ampunan dan rezeki yang berharga di sisi Tuhan”.(Al-Anfal: 2-4).

Menurut ayat di atas ini, ciri-ciri orang yang beriman itu ada 5 perkara, yaitu: Tergugah dan tunduk hatinya apabila disebut nama Tuhan; Imannya bertambah kuat bila mendengar ayat-ayat Al-Qur’an ;
Berserah diri (tawakkal) kepada Allah s.w.t. dalam segala situasi;
Senantiasa beribadah dan berakti kepada Tuhan; Pemurah dan penyantun (memberikan Infak, zakat, sedekah dan lain-lain).
Dengan sifat-sifat utama yang demikian, yang bersumber pada iman yang mantap, maka selanjutnya ditegaskan pada ayat tersebut, bahwa Allah s.w.t. akan mengaruniakan kepada mereka itu 3 macam kelezatan /kenikmatan jasmaniah dan rohaniah, yakni :

Kehormatan, kemuliaan (derajat);
Ampunan (maghfirah) Ilahi terhadap dosa-dosa yang mereka lakukan ; Rezeki yang melumpah ruah.

Meningkatkan Iman.

Untuk meningkatkan iman itu haruslah diadakan komunikasi yang tertib dan teratur mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah s.w.t. dengan menta’ati perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, dan senantiasa ingat dan memikirkan (zikir dan tafakkur) tentang kasih sayang Ilahi dan nikmat yang di-curahkanNya kepada kita, dan akhirnya mempertebal kecintaan  kepadaNya. Dalam hubungan ini, Sayid Rasyid Ridha menunjukkan : “Jalan untuk menumbuhkan  kecintaan kepada Allah S.W.T. ialah dengan membanyakkan (zikir), berpikir, menyelami lautan hikmat Al-Qur’an dan melatih diri untuk melaksanakan garis-garis ketentuan Syari’iyah. Ingatan itu haruslah timbul dari dalam hatinurani, dibuhul oleh niat yang baik dan tujuan yang suci, senantiasa merenungkan rahasia-rahasia dan hikmah alam raya yang diciptakanNya. Tatkala melihat sesuatu yang baik, yang indah yang sempurna (kamal) dan lain-lain dalam alam semesta ini, hendaklah timbul perasaan  kesadaran bahwa semuanya adalah  karunia Ilahi. Ketika mendengar bunyi air yang jatuh dari air-terjun, desiran daun kayu yang bergeser karena ditiup angin, kicau burung yang terbang diangkasa luas dan lain-lain, hendaklah ketika itu ingatan kita tertuju kepada kebesaran dan kekayaan Tuhan,  yang diiringi dengan sikap syukur dan memuja Allah, seperti kesyukuran Nabi Daud a.s., yang menggerakan gunung-gunung  dan burung-burungpun turut menyatakan syukur”. (Taf-sir Al Manar, jilid X, hal. 284).

Sikap jiwa yang senantiasa ingat (berzikir) kepada Tuhan dan memikirkan (tafakkur) segala sesuatu keindahan dan keajaiban ciptaan Ilahi, maka lambat laun akan membentuk pribadi manusia lebih dekat dan cinta kepada Allah. Apabila cinta manusia kepada Tuhan sudah semakin lekat, maka dengan sendirinya kepatuhan kepada Allah semakin kut dan meningkat. (cdn.wan)