MENAKAR KECERDASAN JAMAK MAHASISWA MELALUI SKRIPSI

MENAKAR KECERDASAN JAMAK MAHASISWA MELALUI SKRIPSI

Oleh : Amilan Hatta*

 

Seorang mahasiswa  tingkat akhir pada sebuah  PTS ‘curhat’ tentang kesulitan menyelesaikan skripsinya  di tengah kondisi  virus corona yang semakin mewabah. Sambil menyebut satu persatu kendala yang dihadapi  Ia menilai  kewajiban membuat skripsi sebagai upaya kampus memaksakan  kehendak. Petinggi perguruan tinggi berupaya menggeneralisir seolah-olah masa depan semua mahasiswanya akan menjadi akademisi. Padahal tidak, lebih banyak mahasiswa yang tertarik menjadi praktisi. Mestinya kewajiban skripsi dikhususkan hanya bagi mahasiswa yang memiliki kecenderungan menjadi akademisi.

Pada bagian lain si mahasiswa menyebutkan skripsi dijadikan sebagai komoditas. Dosen pembimbing mendapatkan fee lebih besar jika mahasiswa bimbingannya banyak. Bahkan dosen pembimbing  skripsi dinilai sering diskriminatif. Perlakukan khusus kerap diberikan pada mahasiswa cantik dengan memberikan kemudahan. Mereka lebih mudah berkonsultasi dibandingkan yang lain. Hal ini yang membuat mahasiswa jadi malas, kehilangan motivasi dan stress dalam menghadapi skripsi.

Skripsi juga dinilai tidak bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. Tidak pernah ada satupun skripsi menjadi dokumen  rujukan pemerintah pusat maupun daerah dalam pengambilan kebijakan. Malah yang terjadi skripsi berkonstribusi besar terhadap pemanasan global (global warming). Kok bisa?

Bayangkan saja berapa banyak kertas yang dibutuhkan oleh 1.046.141 lulusan (graduates) dari 3.276 PTN/PTS  di Indonesia (Statistik Pendidikan Tinggi 2017), yang berkonsekuensi pada penebangan hutan secara masif untuk memenuhi kebutuhan kertas.
Terlepas benar tidaknya tudingan saya, kata si Mahasiswa, namun jika ada referendum tentang skripsi di kampus saya berani jamin mahasiswa akan memilih opsi menolak.

Memang bagi seorang mahasiswa,  penulisan skripsi  menjadi  fase yang sulit. Mereka mengalami ‘syndrome’ semacam tekanan psikologis; kecamasan atau frustrasi, yang datang secara bersamaan yang menyebabkan hilangnya kecerdasan.
Kesulitan-kesulitan tersebut biasanya akan mengakibatkan emosi (cepat marah) perubahan pola tidur, kehilangan motivasi, bahkan mengalami perubahan suasana hati atau gangguan bipolar. Malas dan putus asa juga menjadi bagian dari syndrome yang dialami mahasiswa.

 

Mujiyah dkk (2001) dalam sebuah jurnal penelitian menyebutkan dalam proses menulis tugas akhir mahasiswa menghadapi banyak kendala baik  internal maupun  eksternal. Kendala internal meliputi rasa malas (40%), motivasi rendah (27.7%) dan takut bertemu dengan dosen pembimbing (6,7%).

Sedangkan masalah eksternal adalah faktor dosen yang sulit ditemui (36,7%) minimnya waktu bimbingan (23,3%) kurang kordinasi dan kesamaan persepsi antara pembimbing 1 dengan pembimbing 2  (23,3%), dosen kurang jelas  memberikan bimbingan (26,7%) dan dosen terlalu sibuk (13,3%)

Kekurangan buku referensi, terbatasnya fasilitas penunjang, kebingungan dalam mengembangkan teori serta kurangnya kemampuan mahasiswa menulis tentang metodologi juga menjadi bagian dari kendala eksternal yang dihadapi mahasiswa. Di penilitian yang lain, Gintulangi, I, dan Prihastuti (2014) menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres mahasiswa dengan faktor persepsi terhadap harapan orang tua dan keluarga.

Pandemi Covid 19 saat ini  menjadi peristiwa terburuk  bagi mahasiswa tingkat akhir.  Namun  sebuah kebijakan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui  surat Nomor  302/E.E2/KR/2020, memberikan otoritas  bagi perguruan tinggi  terkait dengan tugas akhir mahasiswa.

Kampus diberikan kebebasan apakah tetap memilih opsi penulisan skripsi atau mengembangkan model lain yang setara. Sejauh ini  sejumlah  Perguruan Tinggi masih tetap mempertahankan skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa dan sebagian lainnya memilih metode yang lain semisal magang, penulisan artikel ilmiah atau proposal project, dan lain-lain.

Kewajiban penulisan skripsi bagi mahasiswa tetap memiliki keunggulan  dibandingkan dengan model lain. Skripsi dapat menjadi alat ukur untuk menakar secara kualitatif tingkat kecerdasan utama atau  multiple quotient (kecerdasan jamak) seorang mahasiswa.

Pertama, skripsi dapat mengukur kecerdasan intelektual (Intellegence Quotient-IQ) mahasiswa. IQ atau sering disebut sebagai kecerdasan kognitif  sangat terkait dengan kemampuan mahasiswa memahami,mengingat, menganalisa, mengevaluasi serta memacahkan masalah.  Komponen kecerdasan kognitif sangat mendasar dan dibutuhkan oleh seorang mahasiswa dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. Tidak mungkin seorang mahasiswa akan mampu menyusun sebuah skripsi sebagai karya ilmiah apabila tidak memiliki kemampuan tersebut

Kedua, dalam proses penyusunan skripsi dibutuhkan kecerdasan emosional (Emotional Quetient) yang erat kaitannya dengan kemampuan mahasiswa mengelola emosi, melakukan adaptasi, kerjasama, disiplin dan tanggung jawab serta komitmen dan kontrol diri. Seorang mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosi tidak akan mengalami sindrom, gangguan kecemasan, depresi,  atau tekanan psikologis lainnya dalam menghadapi penulisan skripsi.

Ketiga, skripsi dapat mengukur kualitas kecerdasan spiritual ( Spiritual Quotient-SQ)seorang mahasiswa.Mahasiswa yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik akan bersikap jujur, adil, menghargai dan memiliki rasa kasih sayang yang tinggi. Ia memiliki sikap  toleran, sikap rendah diri dan selalu merasa empati.  Mahasiswa seperti ini tidak akan mendapatkan gelar sarjana dengan cara-cara kecurangan seperti melakukan plagiasi maupun penyewaan jasa penulis skripsi.

Kempat, skripsi dapat mengasah kecerdasan transendental (Trancendental Quotien-TQ).Seorang mahasiswa yang memiliki kecerdasan transendental akan senantiasa memaknai kehidupan dalam perspektif  ke-Ilahi-an. Sehingga apa yang diperbuat, termasuk menuntut ilmu dan memenuhi kewajiban penulisan skripsi akan dianggap bernilai ibadah. Ia berkeyakinan semua sikap dan perilakunya akan dipertanggungjawabkan di muka Tuhan.

Seorang mahasiswa yang cerdas memiliki optimisme yang tinggi, tidak akan berpikir bahwa penulisan skripsi sebagai akhir dari kisah masa kuliah, sebab kuliah sesungguhnya ada di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, Ia akan menjadikan skripsi mereka sebagai buku hidup, bahkan visi  yang di dalamya tertulis  proyeksi masa depan yang sudah direncanakan.

Sebaliknya mahasiswa yang pesimis hanya memandang skripsi sebagai  persyaratan formal kelulusan atau mendapatkan gelar sarjana. Ia bahkan telah membiarkan dirinya menjadi kerdil dengan berupaya menghindari kewajiban skripsi.

Ingat kata-kata ini, “ Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran cemerlang menjadi budak dalam tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah” ( Buya Hamka).

*) Kompartemen Pemuda, Pelajar & Mahasiswa
DPP PA GMNI