Khaeruddin S.Sy., S.H., M.H. Ketua LBH Cahaya Nusantara menjelaskan bahwa perkara Narkotika merupakan isu Nasional yang perlu disikapi dengan bijak. Tidak boleh semua yang tersangkut perkara narkotika harus dihukum, karena dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah dengan tegas menyebutkan katagori sebagai pecandu atau penyalaguna atau korban penyalaguanaan narkotika pada dasarnya mereka wajib direhabilitasi. Akan tetapi apabila terbukti sebaliknya bahwa pelaku penyalagunaan narkotika adalah pelantara atau pengedar dalam jual beli narkotika dan bandar atau gembong peredaran gelap Narkotika maka undang-undang dengan tegas memberi ancaman yang tinggi bahkan sampai hukuman mati.
Lebih lanjut Khaeruddin S.Sy., S.H., M.H. yang juga merupakan seorang pengacara dari Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (PERADI) menjelaskan dengan tegas bahwa khusus pecandu atau penyalaguna atau korban penyalaguanaan narkotika wajib di rehabilitasi karena Instrumen hukum atau peyung hukumnya jelas. Selain dijelaskan dalam undang-undang Narkotika juga dijelaskan dalam aturan pelaksana lainnya. Tergantung lembaga terkait mau atau tidak melaksanakan aturan yang telah disepakati bersama.
Lebih jauh Khaeruddin menjabarkan pada dasarnya Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dikenal dengan dua jenis rehabilitasi Narkotika yaitu:
1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pencandu dari ketergantungan Narkotika.
2. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanankan fungsi sosialnya dalam kehidupan masyarakat.
Bahwa pecandu atau penyalaguna atau korban penyalaguanaan Narkotika wajib mengikuti kedua jenis rehabilitasi tersebut.
Selain itu aturan terkait lainnya seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 2013 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan peratuaran Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) nomor 11 tahun 2014 tentang tatacara penanganan tersangka dan/atau terdakwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika ke dalam lembaga Rehabilitasi.
Akan tetapi dalam proses rehabilitasi kami belum pernah mendengar dilaksanakan oleh badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sumbawa Barat.
Pada prakteknya itu sangat sulit teralisasinya dengan berbagai macam alasan seperti tidak adanya anggaran dan belum sepenuhnya ada persamaan persepsi para penegak hukum dalam menafsirkan aturan perundang-undangan yang berlaku terkait Narkotika.
Lebih khusus lagi terkait Rebilitasi telah dibuat Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Repunlik Indonesia Tentang Penanganan Penyalaguna, pecandu dan korban penyalagunaan Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.
Bahwa dengan adanya peraturan bersama tersebut Penyalaguna, pecandu dan korban penyalagunaan Narkotika wajib di rehabilitasi dengan adanya TIM ASASMEN TERPADU (TAT) sebagaimana amanah Peraturan Bersama tersebut.
Harapan Ketum LBH CN dalam kasus yang menimpa saudara TR (49) tahun yang notabene merupakan sekertaris LSM Gerakan Masyarakat Peduli Anti Narkoba (GEMPITA) dapat dilakukan rebilitasi baik rehabilitasi medis maupun rebilitasi sosial mengigat dari hasil penggeledahan, polisi mengamankan barang bukti berupa 1 (satu) buah poket yang diduga sabu seberat 0,63 (nol koma enam puluh tiga) Gram yang dikantongi oleh saudara TR.
Ketua LBH CN mengharapkan peranserta masyarakat dan LSM Pemerhati anti Narkoba, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat dan khusunya penegak hukum Kepolisan, Kejaksaan, BNNK untuk melaksan peraturan terkaiit rebilitasi Narkotika tersebut diatas.
Perlu menjadi pengigat pesan dari Dr. Iyas, SH.MH. (Ahli perkara Narkotika). Beliu menyampaikan bahwa pecandu atau penyalaguna atau korban penyalaguanaan narkotika adalah orang yang sakit yang seharusnya diobati bukan dipenjara. Alasan lain mengapa penyalaguna perlu direhab karena Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia telah penuh dengan Terpidana kasus Narkotika.