Taliwang, centralditanews- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) resmi mendukung pasangan petahan Firin-Fud di pilkada 2020-2024.
Penyerahan SK DPP PKS Nomor 021/SKEP/DPP PKS/2020 dilakukan oleh DPC PKS Kabupaten Sumbawa Barat dihadapan ratusan simpatisan dan pengurus Partai tersebut, Minggu pagi (16/02/2020), di Sekretariat DPC PKS Jl. Lintas Telaga Bertong, Kelurahan Telaga Bertong- KSB.
PKS merupakan satu-satunya partai yang baru resmi menyatakan dukungan pada salah satu calon kandidat Pilkada KSB, SK DPP PKS Nomor 021/SKEP/DPP PKS/2020 telah menjadi bukti bahwa PKS KSB partai yang tercepat memutuskan pilihan daripada partai lainnya.
Namun langkah PKS memberikan dukungan pada pasangan petahana akan disusul oleh partai-partai lainnya, mengingat sebelumnya pasangan petahana (Firin-Fud) telah mengatakan ingin mempertahankan koalisi gemuk pada pilkada sebelumnya, terkecuali dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang saat ini masih tarik ulur dan terkesan ingin memprakarsai poros baru.
Perkembangan arah politik dari partai-partai di KSB cenderung mudah dibaca, isu-isu yang dibangun tidak menarik sehingga politik tidak menjadi hal menarik untuk dibicarakan. Dengan kondisi seperti itu maka benarlah kalau asumsi kotak kosong membayangi pilkada KSB bukanlah pepesan kosong belaka.
Gerindra KSB yang dulunya bersebrangan dengan petahana sudah merapat dan baru-baru ini sudah memberikan surat tugas pada petahan. Tersisa PAN, PBB dan Demokrat. Ketiga partai tersebut saat ini memiliki 6 kursi di DPRD. Namun publik ragu jika ketiga partai tersebut dapat duduk bersama.
Penomena kotak kosong memang baru terjadi sekali ini di KSB, namun dibeberapa wilayah Indonesia penomena petahana melawan kotak kosong sudah terjadi. Misalnya di Makassar. Mirisnya petahana harus kalah dengan kolom kotak kosong. Bahkan paling sakit, di TPS-nya sendiri petahan harus kalah dari kolom kotak kosong.
Dilansir dari tirto.id edisi 28 juni 2018. Berdasarkan hitungan cepat atau quick count yang dilakukan lembaga riset Celebe Research Center (CRC), misalnya, pasangan calon walikota dan wakil walikota Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) harus mengakui keunggulan kolom kosong. Pasangan Appi-Cicu ini hanya memperoleh 46,55 persen, kalah dengan kotak kosong yang mendapat 53,45 persen suara.
“Data yang masuk untuk Pilkada Makassar sudah 86 persen dan kolom kosong unggul tipis dari paslon tunggal,” kata Direktur CRC, Herman Heizer di Makassar, Sulawesi Selatan, seperti dikutip Antara, Rabu (27/6/2018).
Tak hanya itu, pasangan Appi-Cicu ini bahkan harus mengalami kekalahan di TPS-nya sendiri, yaitu di TPS 03 SD Mangkura 1, Kelurahan Sarewigading, Kecamatan Ujungpandang, Makassar. Munafri yang juga mencoblos di TPS itu hanya mendapatkan 43 suara, sementara kolom kosong tercatat 91 dari total suara 139, sedangkan lima suara tidak sah.
Herman menyatakan, kemenangan kolom kosong di Pilkada Makassar cukup mengejutkan, mengingat pasangan Appi-Cicu ini diusung oleh koalisi 10 parpol yang mengontrol 43 kursi di DPRD Makassar. Sedangkan mantan petahana Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto yang menggandeng Wakil Ketua DPRD Makassar Indira Mulyasari Paramastuti yang maju melalui jalur perseorangan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sehingga Pilwakot Makassar diikuti calon tunggal.
Iza Rumesten R.S. dalam artikel “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi” di Jurnal Konstitusi (Vol. 13, No. 1, Maret 2016) menulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena calon tunggal dalam gelaran pilkada. Salah satunya adalah mahalnya mahar dari partai pengusung. Sehingga, jika ada calon petahana yang kuat, maka calon lain dipastikan akan berhitung ulang untuk maju sebagai kandidat.
Hal ini jelas masuk akal. Untuk maju menjadi calon saja, mereka umumnya harus membayar mahar. Belum lagi dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika terjadi sengketa.
Selain itu, menurut Iza Rumesten, calon tunggal bisa juga disebabkan mesin partai yang seharusnya melakukan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, partai tak punya kader mumpuni untuk diusung dalam pilkada. Tak heran jika partai politik kerap kebingungan mencari kader partai yang berkualitas dan bisa “dijual”: memiliki elektabilitas. (cdn.wan)